Perkembangan yang pesat dari teknologi telekomunikasi dan teknologi komputer menghasilkan internet yang multifungsi. Perkembangan ini membawa kita ke ambang revolusi keempat dalam sejarah pemikiran manusia bila ditinjau dari konstruksi pengetahuam umat manusia yang dicirikan dengan cara berfikir yang tanpa batas (borderless way of thinking).
Percepatan teknologi semakin lama semakin supra yang menjadi sebab material perubahan yang terus menerus dalam semua interaksi dan aktivitas masyarakat informasi. Internet merupakan big bang kedua – setelah big bang pertama yaitu material big bang menurut versi Stephen Hawking – yang merupakan knowledge big bang dan ditandai dengan komunikasi elektromagentoopis via satelit maupun kabel, didukung oleh eksistensi jaringan telefon yang telah ada dan akan segera didukung oleh ratusan satelit yang sedang dan akan diluncurkan.Internet merupakan symbol material embrio masyarakat global. Internet membuat globe dunia, seolah-olah menjadi seperti hanya selebar daun kelor. Era informasi ditandai dengan aksesibilitas informasi yang amat tinggi. Dalam era ini, informasi merupakan komoditi utama yang diperjual belikan sehingga akan muncul berbagai network dan information company yang akan memperjual belikan berbagai fasilitas bermacam jaringan dan berbagai basis data informasi tentang berbagai hal yang dapat diakses oleh pengguna dan pelanggan.
Semua itu membawa masyarakat ke dalam suasana yang disebut oleh John “aisbitt, “ana “aisbitt dan Douglas Philips sebagai Zona Mabuk Teknologi. Internet (yang menghadirkan cyberspace dengan realitas virtualnya) menawarkan kepada manusia berbagai harapan dan kemudahan. Akan tetapi dibalik itu, timbul persoalan berupa kejahatan yang dinamakan cyber crime, baik sistem jaringan komputernya itu sendiri yang menjadi sasaran maupun komputer itu sendiri yang menjadi sarana untuk melakukan kejahatan. Tentunya jika kita melihat bahwa informasi itu sendiri telah menjadi komoditi maka upaya untuk melindungi asset tersebut sangat diperlukan. Salah satu upaya perlindungan adalah melalui hukum pidana, baik dengan bersaranakan penal maupun non penal.
Sebenarnya dalam persoalan cybercrime, tidak ada kekosongan hukum, ini terjadi jika digunakan metode penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum dan ini yang mestinya dipegang oleh aparat penegak hukum dalam menghadapi perbuatan-perbuatan yang berdimensi baru yang secara khusus belum diatur dalam undang-undang. Persoalan menjadi lain jika ada keputusan politik untuk menetapkan cybercrime dalam perundang-undangan tersendiri di luar KUHP atau undang-undang khusus lainnya. Sayangnya dalam persoalan mengenai penafsiran ini, para hakim belum sepakat mengenal kateori beberapa perbuatan. Misalnya carding, ada hakim yang menafsirkan masuk dalam kateori penipuan, ada pula yang memasukkan dalam kategori pencurian. Untuk itu sebetulnya perlu dikembangkan pemahaman kepada para hakim mengenai teknologi informasi agar penafsiran mengenai suatu bentuk cybercrime ke dalam pasal-pasal dalam KUHP atau undang-undang lain tidak membingungkan.
BAB II
PEMBAHSAN
A. Pengertian Cyber Crime
Perkembangan yang pesat dari teknologi telekomunikasi dan teknologi komputer menghasilkan internet yang multifungsi. Perkembangan ini membawa kita ke ambang revolusi keempat dalam sejarah pemikiran manusia bila ditinjau dari konstruksi pengetahuam umat manusia yang dicirikan dengan cara berfikir yang tanpa batas (borderless way of thinking).[1]
Percepatan teknologi semakin lama semakin supra yang menjadi sebab material perubahan yang terus menerus dalam semua interaksi dan aktivitas masyarakat informasi. Internet merupakan big bang kedua – setelah big bang pertama yaitu material big bang menurut versi Stephen Hawking – yang merupakan knowledge big bang dan ditandai dengan komunikasi elektromagentoopis via satelit maupun kabel, didukung oleh eksistensi jaringan telefon yang telah ada dan akan segera didukung oleh ratusan satelit yang sedang dan akan diluncurkan.[2]
Internet merupakan symbol material embrio masyarakat global. Internet membuat globe dunia, seolah-olah menjadi seperti hanya selebar daun kelor. Era informasi ditandai dengan aksesibilitas informasi yang amat tinggi. Dalam era ini, informasi merupakan komoditi utama yang diperjual belikan sehingga akan muncul berbagai network dan information company yang akan memperjual belikan berbagai fasilitas bermacam jaringan dan berbagai basis data informasi tentang berbagai hal yang dapat diakses oleh pengguna dan pelanggan.[3] Semua itu membawa masyarakat ke dalam suasana yang disebut oleh John “aisbitt, “ana “aisbitt dan Douglas Philips sebagai Zona Mabuk Teknologi.[4]
Sebenarnya dalam persoalan cybercrime, tidak ada kekosongan hukum, ini terjadi jika digunakan metode penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum dan ini yang mestinya dipegang oleh aparat penegak hukum dalam menghadapi perbuatan-perbuatan yang berdimensi baru yang secara khusus belum diatur dalam undang-undang.[5]
Dalam beberapa literatur, cybercrime sering diidentikkan sebagai computer crime. The U.S. Department of Justice memberikan pengertian Computer Crime sebagai: “… any illegal act requiring knowledge of Computer technology for its perpetration, investigation, or prosecution”. Pengertian lainnya diberikan oleh Organization of European Community Development, yaitu: “any illegal, unethical or unauthorized behavior relating to the automatic processing and/or the transmission of data”. Andi Hamzah dalam bukunya “Aspek-aspek Pidana di Bidang Komputer” (1989) mengartikan cybercrime sebagai kejahatan di bidang komputer secara umum dapat diartikan sebagai penggunaan komputer secara ilegal. Sedangkan menurut Eoghan Casey “Cybercrime is used throughout this text to refer to any crime that involves computer and networks, including crimes that do not rely heavily on computer“.
B. Jenis-jenis Cyber Crime
Eoghan Casey mengkategorikan cybercrime dalam 4 kategori yaitu:
A computer can be the object of Crime.
A computer can be a subject of crime.
The computer can be used as the tool for conducting or planning a crime.
The symbol of the computer itself can be used to intimidate or deceive.
Polri dalam hal ini unit cybercrime menggunakan parameter berdasarkan dokumen kongres PBB tentang The Prevention of Crime and The Treatment of Offlenderes di Havana, Cuba pada tahun 1999 dan di Wina, Austria tahun 2000, menyebutkan ada 2 istilah yang dikenal :
Cyber crime in a narrow sense (dalam arti sempit) disebut computer crime: any illegal behaviour directed by means of electronic operation that target the security of computer system and the data processed by them.
Cyber crime in a broader sense (dalam arti luas) disebut computer related crime: any illegal behaviour committed by means on relation to, a computer system offering or system or network, including such crime as illegal possession in, offering or distributing information by means of computer system or network.
C. Tingkatan Hacker
Dunia bawah tanah para hacker memberi jenjang atau tingkatan bagi para anggotanya. Kepangkatan diberikan berdasarkan kepiawaian seseorang dalam hacking. Tingkatannya yaitu :
1. Elite
Ciri-cirinya adalah : mengerti sistem operasi luar dalam, sanggup mengkonfigurasi dan menyambungkan jaringan secara global, melakukan pemrogramman setiap harinya, effisien dan trampil, menggunakan pengetahuannya dengan tepat, tidak menghancurkan data-data, dan selalu mengikuti peraturan yang ada. Tingkat Elite ini sering disebut sebagai ‘suhu’.
2. Semi Elite
Ciri-cirinya adalah : lebih muda dari golongan elite, mempunyai kemampuan dan pengetahuan luas tentang komputer, mengerti tentang sistem operasi (termasuk lubangnya), kemampuan programnya cukup untuk mengubah program eksploit.
3. Developed Kiddie
Ciri-cirinya adalah : umurnya masih muda (ABG) dan masih sekolah, mereka membaca tentang metoda hacking dan caranya di berbagai kesempatan, mencoba berbagai sistem sampai akhirnya berhasil dan memproklamirkan kemenangan ke lainnya, umumnya masih menggunakan Grafik User Interface (GUI) dan baru belajar basic dari UNIX tanpa mampu menemukan lubang kelemahan baru di sistem operasi.
4. Script Kiddie
Ciri-cirinya adalah : seperti developed kiddie dan juga seperti Lamers, mereka hanya mempunyai pengetahuan teknis networking yang sangat minimal, tidak lepas dari GUI, hacking dilakukan menggunakan trojan untuk menakuti dan menyusahkan hidup sebagian pengguna Internet.
5. Lamer
Ciri-cirinya adalah : tidak mempunyai pengalaman dan pengetahuan tapi ingin menjadi hacker sehingga lamer sering disebut sebagai ‘wanna-be’ hacker, penggunaan komputer mereka terutama untuk main game, IRC, tukar menukar software prirate, mencuri kartu kredit, melakukan hacking dengan menggunakan software trojan, nuke dan DoS, suka menyombongkan diri melalui IRC channel, dan sebagainya. Karena banyak kekurangannya untuk mencapai elite, dalam perkembangannya mereka hanya akan sampai level developed kiddie atau script kiddie saja.
Tahapan yang dilalui oleh mereka yang menjadi hacker sebenarnya sulit untuk mengatakan tingkatan akhir atau final dari hacker telah tercapai, karena selalu saja ada sesuatu yang baru untuk dipelajari atau ditemukan (mengumpulkan informasi dan mempelajarinya dengan cermat merupakan dasar-dasar yang sama bagi seorang hacker) dan hal tersebut juga tergantung perasaan(feeling).
Seorang hacker memiliki tujuan yaitu untuk menyempurnakan sebuah sistem sedangkan seorang cracker lebih bersifat destruktif. Umumnya cracker melakukan cracking untuk menggunakan sumber daya di sebuah sistem untuk kepentingan sendiri.
Bagaimana cara cracker merusak ? Seorang cracker dapat melakukan penetrasi ke dalam sistem dan melakukan pengrusakan. Ada banyak cara yang biasanya digunakan untuk melakukan penetrasi antara lain : IP Spoofing (Pemalsuan alamat IP), FTP Attack dan lain-lain.
Agar cracker terlindungi pada saat melakukan serangan, teknik cloacking (penyamaran) dilakukan dengan cara melompat dari mesin yang sebelumnya telah di compromised (ditaklukan) melalui program telnet atau rsh. Pada mesin perantara yang menggunakan Windows serangan dapat dilakukan dengan melompat dari program Wingate. Selain itu, melompat dapat dilakukan melalui perangkat proxy yang konfigurasinya kurang baik.
Pada umumnya, cara-cara tersebut bertujuan untuk membuat server dalam sebuah sistem menjadi sangat sibuk dan bekerja di atas batas kemampuannya sehingga sistem akan menjadi lemah dan mudah dicrack.
Hacker sejati menyebut orang-orang ini ‘cracker’ dan tidak suka bergaul dengan mereka. Hacker sejati memandang cracker sebagai orang malas, tidak bertanggung jawab, dan tidak terlalu cerdas. Hacker sejati tidak setuju jika dikatakan bahwa dengan menerobos keamanan seseorang telah menjadi hacker.
D. Modus Operandi Cyber Crime
Kejahatan yang berhubungan erat dengan penggunaan teknologi yang berbasis komputer dan jaringan telekomunikasi ini dikelompokkan dalam beberapa bentuk sesuai modus operandi yang ada, antara lain:
1. Unauthorized Access to Computer System and Service
Kejahatan yang dilakukan dengan memasuki/menyusup ke dalam suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin atau tanpa sepengetahuan dari pemilik sistem jaringan komputer yang dimasukinya. Biasanya pelaku kejahatan (hacker) melakukannya dengan maksud sabotase ataupun pencurian informasi penting dan rahasia. Namun begitu, ada juga yang melakukannya hanya karena merasa tertantang untuk mencoba keahliannya menembus suatu sistem yang memiliki tingkat proteksi tinggi. Kejahatan ini semakin marak dengan berkembangnya teknologi Internet/intranet. Kita tentu belum lupa ketika masalah Timor Timur sedang hangat-hangatnya dibicarakan di tingkat internasional, beberapa website milik pemerintah RI dirusak oleh hacker (Kompas, 11/08/1999). Beberapa waktu lalu, hacker juga telah berhasil menembus masuk ke dalam data base berisi data para pengguna jasa America Online (AOL), sebuah perusahaan Amerika Serikat yang bergerak dibidang ecommerce yang memiliki tingkat kerahasiaan tinggi (Indonesian Observer, 26/06/2000). Situs Federal Bureau of Investigation (FBI) juga tidak luput dari serangan para hacker, yang mengakibatkan tidak berfungsinya situs ini beberapa waktu lamanya (http://www.fbi.org).
2. Illegal Contents
Merupakan kejahatan dengan memasukkan data atau informasi ke Internet tentang sesuatu hal yang tidak benar, tidak etis, dan dapat dianggap melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum. Sebagai contohnya, pemuatan suatu berita bohong atau fitnah yang akan menghancurkan martabat atau harga diri pihak lain, hal-hal yang berhubungan dengan pornografi atau pemuatan suatu informasi yang merupakan rahasia negara, agitasi dan propaganda untuk melawan pemerintahan yang sah dan sebagainya.
3. Data Forgery
Merupakan kejahatan dengan memalsukan data pada dokumen-dokumen penting yang tersimpan sebagai scripless document melalui Internet. Kejahatan ini biasanya ditujukan pada dokumen-dokumen e-commerce dengan membuat seolah-olah terjadi “salah ketik” yang pada akhirnya akan menguntungkan pelaku karena korban akan memasukkan data pribadi dan nomor kartu kredit yang dapat saja disalah gunakan.
4. Cyber Espionage
Merupakan kejahatan yang memanfaatkan jaringan Internet untuk melakukan kegiatan mata-mata terhadap pihak lain, dengan memasuki sistem jaringan komputer (computer network system) pihak sasaran. Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap saingan bisnis yang dokumen ataupun data pentingnya (data base) tersimpan dalam suatu sistem yang computerized (tersambung dalam jaringan komputer)
5. Cyber Sabotage and Extortion
Kejahatan ini dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung dengan Internet. Biasanya kejahatan ini dilakukan dengan menyusupkan suatu logic bomb, virus komputer ataupun suatu program tertentu, sehingga data, program komputer atau sistem jaringan komputer tidak dapat digunakan, tidak berjalan sebagaimana mestinya, atau berjalan sebagaimana yang dikehendaki oleh pelaku.
6. Offense against Intellectual Property
Kejahatan ini ditujukan terhadap hak atas kekayaan intelektual yang dimiliki pihak lain di Internet. Sebagai contoh, peniruan tampilan pada web page suatu situs milik orang lain secara ilegal, penyiaran suatu informasi di Internet yang ternyata merupakan rahasia dagang orang lain, dan sebagainya.
7. Infringements of Privacy
Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap keterangan pribadi seseorang yang tersimpan pada formulir data pribadi yang tersimpan secara computerized, yang apabila diketahui oleh orang lain maka dapat merugikan korban secara materil maupun immateril, seperti nomor kartu kredit, nomor PIN ATM, cacat atau penyakit tersembunyi dan sebagainya.
E. Pencegahan dan Penanggulangan Cybercrime Dengan Sarana “on Penal
Cybercrime merupakan kejahatan yang dilakukan dengan dan memanfaatkan teknologi, sehingga pencegahan dan penanggulangan dengan sarana penal tidaklah cukup. Untuk itu diperlukan sarana lain berupa teknologi itu sendiri sebagai sarana non penal. Teknologi itu sendiripun sebetulnya belum cukup jika tidak ada kerjasama dengan individu maupun institusi yang mendukungnya. Pengalaman negara-negara lain membuktikan bahwa kerjasama yang baik antara pemerintah, aparat penegak hukum, individu maupun institusi dapat menekan terjadinya cybercrime.
Tidak ada jaminan keamanan di cyberspace, dan tidak ada sistem keamanan computer yang mampu secara terus menerus melindungi data yang ada di dalamnya. Para hacker akan terus mencoba untuk menaklukkan sistem keamanan yang paling canggih, dan merupakan kepuasan tersendiri bagi hacker jika dapat membobol sistem keamanan komputer orang lain. Langkah yang baik adalah dengan selalu memutakhirkan sistem keamanan computer dan melindungi data yang dikirim dengan teknologi yang mutakhir pula.
Pada persoalan cyberporn atau cyber sex, persoalan pencegahan dan penanggulangannya tidaklah cukup hanya dengan melakukan kriminalisasi yang terumus dalam bunyi pasal. Diperlukan upaya lain agar pencegahannya dapat dilakukan secara efektif. Pengalaman Negara menunjukkan bahwa kerjasama antara pemerintah, aparat penegak hukum, LSM dan masyarakat dapat mengurangi angka kriminalitas. Berikut pengalaman beberapa Negara itu:
1. Di Swedia, perusahaan keamanan internet, NetClean Technology bekerjasama dengan Swedish National Criminal Police Department dan NGO ECPAT, mengembangkan program software untuk memudahkan pelaporan tentang pornografi anak. Setiap orang dapat mendownload dan menginstalnya ke computer. Ketika seseorang meragukan apakah material yang ada di internet itu legal atau tidak, orang tersebut dapat menggunakan software itu dan secara langsung akan segera mendapat jawaban dari ECPAT Swedia.
2. Di Inggris, British Telecom mengembangkan program yang dinamakan Cleanfeed untuk memblok situs pornografi anak sejak Juni 2004. Untuk memblok situ situ, British Telecom menggunakan daftar hitam dari Interent Watch Foundation (IWF). Saat ini British Telecom memblok kira-kira 35.000 akses illegal ke situs tersebut. Dalam memutuskan apakah suatu situs hendak diblok atau tidak, IWF bekerjasama dengan Kepolisian Inggris. Daftar situ itu disebarluaskan kepada setiap ISP, penyedia layanan isi internet, perusahaan filter/software dan operator mobile phone.
3. Norwegia mengikuti langkah Inggris dengan bekerjasama antara Telenor dan Kepolisian Nasional Norwegia, Kripos. Kripos menyediakan daftar situs child pornography dan Telenor memblok setiap orang yang mengakses situs itu. Telenor setiap hari memblok sekitar 10.000 sampai 12.000 orang yang mencoba mengunjungi situs itu.
4. Kepolisian Nasional Swedia dan Norwegia bekerjasama dalam memutakhirkan daftar situs child pornography dengan bantuan ISP di Swedia. Situs-situs tersebut dapat diakses jika mendapat persetujuan dari polisi.
5. Mengikuti langkah Norwegia dan Swedia, ISP di Denmark mulai memblok situs child pornography sejak Oktober 2005. ISP di sana bekerjasama dengan Departemen Kepolisian Nasional yang menyediakan daftar situs untuk diblok. ISP itu juga bekerjasama dengan NGO Save the Children Denmark. Selama bulan pertama, ISP itu telah memblok 1.200 pengakses setiap hari.
Sebenarnya Internet Service Provider (ISP) di Indonesia juga telah melakukan hal serupa, akan tetapi jumlah situs yang diblok belum banyak sehingga para pengakses masih leluasa untuk masuk ke dalam situs tersebut, terutama situs yang berasal dari luar negeri. Untuk itu ISP perlu bekerjasama dengan instansi terkait untuk memutakhirkan daftar situs child pornography yang perlu diblok. Faktor penentu lain dalam pencegahan dan penanggulangan cybercrime dengan sarana non penal adalah persoalan tentang etika. Dalam berinteraksi dengan orang lain menggunakan internet, diliputi oleh suatu aturan tertentu yang dinamakan ettiquette atau etika di internet. Meskipun belum ada ketetapan yang baku mengenai bagaimana etika berinteraksi di internet, etika dalam berinteraksi di dunia nyata (real life) dapat dipakai sebagai acuan.
F. Penanganan Cybercrime di Indonesia
Meski Indonesia menduduki peringkat pertama dalam cybercrime pada tahun 2004, akan tetapi jumlah kasus yang diputus oleh pengadilan tidaklah banyak. Dalam hal ini angka dark number cukup besar dan data yang dihimpun oleh Polri juga bukan data yang berasal dari investigasi Polri, sebagian besar data tersebut berupa laporan dari para korban. Ada beberapa sebab mengapa penanganan kasus cybercrime di Indonesia tidak memuaskan:
1. Ketersediaan dana atau anggaran untuk pelatihan SDM sangat minim sehingga institusi penegak hukum kesulitan untuk mengirimkan mereka mengikuti pelatihan baik di dalam maupun luar negeri.
2. Ketiadaan Laboratorium Forensik Komputer di Indonesia menyebabkan waktu dan biaya besar.
Pada kasus Dani Firmansyah yang menghack situs KPU, Polri harus membawa harddisk ke Australia untuk meneliti jenis kerusakan yang ditimbulkan oleh hacking tersebut.
3. Citra lembaga peradilan yang belum membaik, meski berbagai upaya telah dilakukan. Buruknya citra ini menyebabkan orang atau korban enggan untuk melaporkan kasusnya ke kepolisian.
4. Kesadaran hukum untuk melaporkan kasus ke kepolisian rendah. Hal ini dipicu oleh citra lembaga peradilan itu sendiri yang kurang baik, factor lain adalah korban tidak ingin kelemahan dalam system komputernya diketahui oleh umum, yang berarti akan mempengaruhi kinerja perusahaan dan web masternya.
5. Upaya penanganan cybercrime membutuhkan keseriusan semua pihak mengingat teknologi informasi khususnya internet telah dijadikan sebagai sarana untuk membangun masyarakat yang berbudaya informasi. Keberadaan undang-undang yang mengatur cybercrime memang diperlukan, akan tetapi apalah arti undang-undang jika pelaksana dari undang-undang tidak memiliki kemampuan atau keahlian dalam bidang itu dan masyarakat yang menjadi sasaran dari undang-undang tersebut tidak mendukung tercapainya tujuan pembentukan hukum tersebut.
Beberapa langkah penting yang harus dilakukan setiap negara dalam penanggulangan cybercrime adalah :
1. Melakukan modernisasi hukum pidana nasional beserta hukum acaranya, yang diselaraskan dengan konvensi internasional yang terkait dengan kejahatan tersebut.
2. Meningkatkan sistem pengamanan jaringan komputer nasional sesuai standar internasional.
3. Meningkatkan pemahaman serta keahlian aparatur penegak hukum mengenai upaya pencegahan, investigasi dan penuntutan perkara-perkara yang berhubungan dengan cybercrime.
4. Meningkatkan kesadaran warga negara mengenai masalah cybercrime serta pentingnya mencegah kejahatan tersebut terjadi.
5. Meningkatkan kerjasama antar negara, baik bilateral, regional maupun multilateral, dalam upaya penanganan cybercrime, antara lain melalui perjanjian ekstradisi dan mutual assistance treaties.
Contoh bentuk penanggulangan dari cyber crime antara lain :
1. IDCERT (Indonesia Computer Emergency Response Team)
Salah satu cara untuk mempermudah penanganan masalah keamanan adalah dengan membuat sebuah unit untuk melaporkan kasus keamanan. Masalah keamanan ini di luar negeri mulai dikenali dengan munculnya “sendmail worm” (sekitar tahun 1988) yang menghentikan sistem email Internet kala itu. Kemudian dibentuk sebuah Computer Emergency Response Team (CERT) Semenjak itu di negara lain mulai juga dibentuk CERT untuk menjadi point of contact bagi orang untuk melaporkan masalah keamanan. IDCERT merupakan CERT Indonesia.
2. Sertifikasi perangkat security.
Perangkat yang digunakan untuk menanggulangi keamanan semestinya memiliki peringkat kualitas. Perangkat yang digunakan untuk keperluan pribadi tentunya berbeda dengan perangkat yang digunakan untuk keperluan militer. Namun sampai saat ini belum ada institusi yang menangani masalah evaluasi perangkat keamanan di Indonesia. Di Korea hal ini ditangani oleh Korea Information Security Agency.
Saat ini di Indonesia belum memiliki UU khusus/Cyber Law yang mengatur mengenai Cybercrime, walaupun UU tersebut sudah ada sejak tahun 2000 namun belum disahkan oleh Pemerintah Dalam Upaya Menangani kasus-kasus yg terjadi khususnya yang ada kaitannya dengan cyber crime, para Penyidik ( khususnya Polri ) melakukan analogi atau perumpamaan dan persamaan terhadap pasal-pasal yang ada dalam KUHP Pasal yang dapat dikenakan dalam KUHP pada Cybercrime antara lain:
1. KUHP ( Kitab Undang-Undang Hukum Pidana )
a. Pasal 362 KUHP Tentang pencurian ( Kasus carding ).
b. Pasal 378 KUHP tentang Penipuan ( Penipuan melalui website seolah-olah menjual barang)
b. Pasal 311 KUHP Pencemaran nama Baik ( melalui media internet dengan mengirim email kepada Korban maupun teman-teman korban)
c. Pasal 303 KUHP Perjudian (permainan judi online)
d. Pasal 282 KUHP Pornografi ( Penyebaran pornografi melalui media internet).
e. Pasal 282 dan 311 KUHP ( tentang kasus Penyebaran foto atau film pribadi seseorang yang vulgar di Internet).
f. Pasal 378 dan 362 (Tentang kasus Carding karena pelaku melakukan penipuan seolah-olah ingin membayar, dengan kartu kredit hasil curian )
2. Undang-Undang No.19 Thn 2002 Tentang Hak Cipta, Khususnya tentang Program Komputer atau software
3. Undang-Undang No.36 Thn 1999 tentang Telekomunikasi, ( penyalahgunaan Internet yang menggangu ketertiban umum atau pribadi).
4. Undang-undang No.25 Thn 2003 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No.15 Tahun 2002 Tentang Pencucian Uang.
5. Undang-Undang No.15 thn 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
BAB III
KESIMPULAN
Dunia maya tidak berbeda jauh dengan dunia nyata. Mudah-mudahan para penikmat teknologi dapat mengubah mindsetnya bahwa hacker itu tidak selalu jahat. Menjadi hacker adalah sebuah kebaikan tetapi menjadi seorang cracker adalah sebuah kejahatan. Segalanya tergantung individu masing-masing.
Para hacker menggunakan keahliannya dalam hal komputer untuk melihat, menemukan dan memperbaiki kelemahan sistem keamanan dalam sebuah sistem komputer ataupun dalam sebuah software. Oleh karena itu, berkat para hacker-lah Internet ada dan dapat kita nikmati seperti sekarang ini, bahkan terus di perbaiki untuk menjadi sistem yang lebih baik lagi. Maka hacker dapat disebut sebagai pahlawan jaringan sedang cracker dapat disebut sebagai penjahat jaringan karena melakukan melakukan penyusupan dengan maksud menguntungkan dirinya secara personallity dengan maksud merugikan orang lain. Hacker sering disebut hacker putih (yang merupakan hacker sejati yang sifatnya membangun) dan hacker hitam (cracker yang sifatnya membongkar dan merusak)
DAFTAR PUSTAKA
Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Bandung: Citra Aditya, 2005.
Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara, Perkembangan Kajian Cybercrime di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006.
Dimitri Mahayana, Menjemput Masa Depan, Futuristik dan Rekayasa Masyarakat Menuju Era Global, Rosda, Bandung: 2000.
John Nasibitt, Nana Naisbitt dan Douglas Philips, High Tech, High Touch, Pencarian Makna di Tengah Perkembangan Pesat Teknologi, Mizan, Bandung, 2001.
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986.
0 komentar:
Posting Komentar